Laman

Senin, 23 November 2009

Balzac dan Penjahit Cilik dari Cina

Oleh: Endah Sulwesi

Balzac dan Penjahit Cilik dari Cina
Dai Sijie

Siapakah Balzac? Ia adalah sastrawan besar Prancis yang hidup antara 1799-1850. Bernama lengkap Honore de Balzac. Lahir di Tours, Prancis, dan pada 1819 kepada keluarganya, mengumumkan niatnya untuk berkarier sebagai penulis setelah sebelumnya bekerja di sebuah kantor pengacara. Di awal kariernya, sempat menggunakan nama samaran. Di antara karya-karya terbaiknya, terdapatlah novel berjudul La Pere Goriot (1835) dan Ursule Mirouet (1841).

Lantas, apa hubungannya Balzac dengan penjahit cilik dari Cina? Ceritanya ada di novel karya Dai Sijie : Balzac dan Si Penjahit Cilik dari Cina.

Itu terjadi di sebuah dusun terpencil di daratan Cina, tersembunyi di kaki Gunung Burung Hong dari Langit. Sangat sulit mencapai daerah itu. Kendaraan tak bisa sampai ke sana, sebab hanya ada jalan setapak sempit dan curam. Boleh dibilang, di sana tak ada peradaban, miskin, terisolir. Suatu tempat yang mungkin tak tertulis di peta bumi, di mana biola dilihat sebagai barang aneh. Sampai datang dua orang pemuda belia dari kota untuk menjalani apa yang disebut oleh Ketua Mao sebagai "pendidikan ulang" di masa-masa Revolusi Kebudayaan.

Pendidikan ulang merupakan salah satu program yang dicanangkan Mao demi menyukseskan ambisi gilanya, revolusi kebudayaan, yaitu dengan cara mengirimkan para pemuda-pemudi ke desa-desa untuk "belajar" bagaimana caranya menjadi proletar sejati kepada para petani.

Para pemuda tersebut, diwajibkan tinggal dan melakukan pekerjaan sehari-hari bersama para penduduk desa di mana mereka ditempatkan : menanam padi, membajak sawah, memikul air, memanen hasil, membelah kayu bakar...Pokoknya semua hal yang dilakukan petani, harus dikerjakan.

Ke Gunung Burung Hong itulah, pada 1971 "Aku" dan sahabatnya, Luo, melaksanakan perintah Ketua Mao. Kedua orang sahabat ini lulusan sekolah menengah tingkat rendah (mungkin setaraf SMP). Orang tua kedua anak muda itu sama-sama dokter. Yang satu dokter spesialis paru-paru, sedangkan yang lainnya dokter gigi. Para dokter itu, sebagai golongan intelektual, sejak Mao berkuasa dicap sebagai "musuh rakyat". Mao Zedong dikenal sebagai tiran yang sangat membenci kaum intelek. Setidaknya, begitu kesimpulan kedua tokoh dalam buku ini.

Seperti laiknya terjadi di belahan dunia mana pun, seorang pemuda selalu mengetahui berita perihal gadis cantik. Atau sebaliknya, keberadaan seorang gadis cantik tak pernah dapat disembunyikan dari mata dan telinga para pemuda.

Nun, di desa tetangga (masih dalam distrik yang sama) tersiarlah kabar tentang seorang gadis mungil cantik putri tunggal seorang penjahit, satu-satunya penjahit di distrik tersebut. Setiap kali sang ayah melakukan perjalanan keliling ke desa-desa sekitar, sang putri ditinggal seorang diri selama berhari-hari. Pada saat-saat seperti itu, kumbang-kumbang desa berdatangan menyatroni bunga jelita. Tak terkecuali kedua sahabat setia : aku dan Luo.

Tak butuh waktu lama, ketiganya kemudian menjadi sahabat, bahkan kelak Luo berhasil memacari si gadis polos yang, menurut Luo, "tidak cukup beradab" sampai kemudian Luo memperkenalkan (novel-novel) Balzac kepadanya.

Luo memperoleh novel-novel Balzac itu, La Pere Goriot dan Ursule Mirouet, dengan cara mencurinya dari Si Mata Empat, pemuda yang juga ikut dididik ulang. Saat itu, ketahuan memiliki novel-novel barat sama saja dengan kejahatan. Namun, Si Mata Empat, entah bagaimana caranya, berhasil menyelamatkan 'harta karun' tersebut dan membawanya dalam koper kulit ke desa tempat ia dididik ulang sebelum akhirnya dicuri Luo.

Sebenarnya tak terlalu mengherankan Si Mata Empat bisa memiliki novel-novel barat karya Balzac, Flaubert, Gogol, dan Romain Rolland, mengingat ayah ibunya adalah penyair.

Maka, berpestalah kedua anak muda yang haus bacaan itu. Bersama Balzac dan kawan-kawan, mereka menerbangkan imajinasi, berkelana ke kota-kota dunia, menembus batas ruang dan waktu, menjelajah negeri-negeri jauh lewat tokoh novel-novel tersebut. Mereka mabuk, laiknya seorang pengembara yang kehausan tiba-tiba mendapatkan air bening setelaga. Ingin rasanya mereguk seluruh isi telaga bening itu. Tak lupa, mereka membaginya dengan si Penjahit Cilik tanpa pernah sedikit pun menduga akibatnya.

Demikian, dipaparkan dengan bagus sekali oleh Dai Sijie, seorang sineas yang pernah mengalami sendiri "pendidikan ulang" selama 3 tahun (1971-1974). Pada 1984, ia hijrah dari Cina ke Prancis. Balzac dan si Penjahit Cilik dari Cina ini adalah novel debutannya yang diterbitkan di Prancis pada tahun 2000.

Meski mengambil latar belakang revolusi kebudayaan, namun tidak lalu menjadikan novel ini sebuah kisah yang suram seperti Wild Swans (GPU, 2005), misalnya. Kedua tokoh utamanya selalu berusaha gembira dan optimis menghadapi situasi sesulit apa pun. Dai Sijie mengemas ceritanya dalam humor (satire) yang segar tanpa bermaksud menghilangkan bukti dan fakta tentang kebiadaban rezim komunis di bawah Mao.

Mao boleh saja mengekang kebebasan fisik mereka dengan kerja paksa yang melelahkan sepanjang hari selama bertahun-tahun. Ia dan Tentara Merahnya boleh saja melarang anak-anak muda itu untuk melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Tetapi, ia tidak bisa menyuruh mereka berhenti berpikir dan berimajinasi. Pikiran itu seperti magma gunung berapi : terus bergolak hingga suatu hari memerdekakan diri dengan berbagai cara : membaca buku, menulis, main musik, puisi, teater, film....

Novel ini membuktikan betapa buku (sastra) memiliki kekuatan dahsyat membuka pikiran, mengubah pandangan, memperluas wawasan seseorang. Bahkan seorang "tak beradab" seperti si Penjahit Cilik sekali pun mendapatkan kekuatan dan keyakinan menentukan jalan hidupnya setelah dibacakan (novel) Balzac.

Pantas saja jika para tiran di dunia ini begitu takutnya pada buku (sastra). Kita bisa saksikan di negeri kita sendiri banyak karya sastra diberangus dan penulisnya dipenjara dengan dakwaan telah melakukan perbuatan subversif, menyebarluaskan ide/pemikiran yang berbahaya dan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Yang paling dicatat sejarah tentulah apa yang menimpa sastrawan Pramoedya Ananta Toer.

Bukan hanya buku, namun kegiatan sastra dan kesenian lainnya pun mengalami hal serupa. Ingat saja kasus Teater Koma yang dilarang manggung beberapa tahun lalu karena naskahnya dianggap berbahaya. Demikian pula dengan nasib konser-konser Iwan Fals, sering harus batal demi "keamanan."

Sejak lama saya telah percaya, bahwa seni dan sastra adalah media penyampai (pesan, gagasan, pemikiran) paling efektif, bahkan mengalahkan jurnalisme. Sampai-sampai seorang Seno Gumira Ajidarma menulis buku yang berjudul : Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Bicara (Bentang Pustaka, 2005). Begitulah, (kekuatan) sastra memang dahsyat, saudara-saudara!

Endah Sulwesi 22/4
http://perca.blogdrive.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar